PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
INTERNASIONAL
Mahkamah
Internasional adalah salah satu badan perlengkapan PBB yang berkedudukan di Den
Hag (Belanda). Para anggotanya terdiri atas ahli hukum terkemuka, yakni 15
orang hakim yang dipilih dari 15 negara berdasrkan kecakapannya dalam hokum dan
masa jabatan mereka 9 tahun.
Mahkamah
Agung Internasional atau biasa disebut Mahkamah Internasional, merupakan
Mahkamah Pengadilan Tertinggi di seluruh dunia. Pengadilan internasional dapat
mengadili semua perselisihan yang terjadi antara negara bukan anggota PBB.
Dalam penyelesaian ini, jalan damai yang selaras dengan asas-asas keadilan dan
hukum internasional yang digunakan. Mahkamah Internasional, mengadili
perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum.
Mahkamah
internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjian
internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai
sumbersumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan
terakhir walaupun dapat diminta banding. Selain pengadilan Mahkamah
Internasional, terdapat juga pengadilan Arbitrasi Internasional. Arbitrasi Internasional
hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu
berdasarkan peraturan-peraturan hukum.
Mahkamah
memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut hukum
internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan
memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh
organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.
Dalam prosedur penyelesaian
sengketa internasional melalui Mahkamah Internasional, dikenal dengan istilah Adjudication,
yaitu suatu teknik hukum untuk menyelesaikan persengkataan internasional dengan
menyerahkan putusan kepada lembaga peradilan. Adjudikasi berbeda dari
arbitrase, karena adjudikasi mencakup proses kelembagaan yang dilakukan oleh
lembaga peradilan tetap, sementara arbitrase dilakukan melalui prosedur ad
hoc.
TUGAS MAHKAMAH INTERNASIONAL
1. Menerima
perkara-perkara dari para anggota serta dari luar anggota dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh Dewan Keamanan.
2. Menerima
persengketaan hokum internasional dari Dewan Keamanan.
3. Memberikan
pendapat kepada Majelis Umum PBB tentang penyelesaian sengketa antar
negara-negara anggota PBB.
4. Mengadili
perselisihan-perselisihan atau persengketaan antar negara-negara anggota PBB
yang persoalannya diajukan oleh negara yang berselisih.
5. Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil
tindakan terhadap pihak yang tidak menghiraukan keputusan Mahkamah
International.
PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA INTERNASIONAL :
1. Wewenang
Mahkamah
Wewenang mahkamah diatur oleh Bab II statuta yang
khusus mengenai wewenang mahkaman dengan ruang lingkup masalah-masalah mengenai
sengketa. Untuk mempelajari wewenang mahkamah dapat dilihat dari wewenang
rational personal yaitu siapa-siapa saja yang dapat mengajukan perkara ke
mahmah dari wewenang rational material yaitu mengenai jenis sengketa-sengketa
yang dapat diajukan :
1) Akses
ke Mahkamah hanya Terbuka untuk Negara (Wewenang Rational Personal)
Pasal
34 ayat 1 statuta menyatakan, hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak
dalam perkara-perkara di muka mahkamah. Maksud isi pasal tersebut,
individu-individu dan organisasi-organisasi international tidak dapat menjadi
pihak dari suatu sengketa di muka mahkamah.
Pada
prinsipnya mahkamah hanya terbuka bagi negara-negara anggota dari statuta.
Negara-negara anggota statuta yaitu semua anggota PBB yang banyaknya 192
negara.
Dalam
pasal 93 ayat 2 piagam menyatakan bahwa negara yang bukan anggotra PBB dapat
menjadi pihak pada statuta mahkamah, dengan syarat-syarat yang akan ditentukan
untuk tiap-tiap permohonan oleh majelis Umum atas rekomendasi Dewan Kemanan.
Keputusan
mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi di dunia dan penolakan suatu
negara terhadap keputusan lembaga tersebut akan dapat merusak citranya dalam
pergaulan antar bangsa, apalagi karena sebelumnya negara-negara tersebut telah
menerima wewenang wajib. Oleh karena itu, dengan mengadakan pengecualian
terhadap ketentuan tersebut, juga diberikan kemungkinan kepada negara-negara
lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan suatu perkara ke
mahkamah (Pasal 35 ayat 2 statuta). Dalam hal ini, Dewan keamanan yang
menentukan syarat-syaratnya.
2) Kedudukan
Individu
Seseorang
yang dinyatakan bersalah berdasarkan hukum international, maka mahkamah
international berkewajiban untuk menuntutnya. Adapun bila ada penolakan akses
terhadap individu-individu. Namun melalui mekanisme perlindungan diplomatik di
bidang pertanggungjawaban international, negara-negara dapat mengambil alih dan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga negara di depan mahkamah. Banyak
perkara yang diperiksa mahkamah yang berasal dari pelaksanaan perlindungan diplomatik
negara terhadap warga negaranya. Misalnya perkara Ambotielos, International
Court Justice (ICJ) 1952-1953, perkara International ICJ 1957-1958.
3) Kedudukan
Organisasi International
Pasal
34 ayat 1 statuta hanya membolehkan negara-negara untuk mengerjakan suatu
sengketa ke mahkamah. Namun, dalam ayat 2 dan 3 memberikan kemungkinan kerja
sama antar organisasi-organisasi international dan mahkamah. Mahkamah juga
menentukan syarat-syarat kerja sama dengan organisasi-organisasi international.
Langkah
pertama yang dilakukan makamah adalah meminta kepada organisasi-organisasi
international keterangan-keterangan mengenai soal-soal yang diperiksanya,
organisasi-organisasi international tersebut dengan inisiatif sendiri mengirim
keterangan yang diperlukan ke mahkamah. Selanjutnya, bila dalam pemeriksaan
suatu perkara, mahkamah terpaksa menginterpretasikan piagam konstitutif suatu
organisasi international atau suatu konvensi yang dibuat atas dasar piagam
tersebut, maka panitera mahkamah berhak meminta keterangan kepada organisasi
international tadi dan mengirimkannya secara tertulis ke mahkamah.
4) Wewenang
Rational Material
Pasal
36 ayat 1 statuta dengan jelas menyatakan bahwa wewenang mahkamah meliputi
semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya dan semua
hal, terutama yang terdapat dalam piagam PBB atau dalam perjanjian-perjanjian
dan konvensi-konvensi yang berlaku.
Meskipun
Pasal 36 ayat 1 ini tidak mengadakan pemberdayaan antar sengketa hukum dan
politik yang boleh dibawa ke mahkamah, dalam prakteknya mahkamah selalu menolak
memeriksa perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.
Selanjutnya,
wewenang mahkamah pada prinsipnya bersifat fakultatif. Ini berarti bahwa bila
terjadi suatu sengketa antar dua negara, intervensi mahkamah baru dapat terjadi
bila negara-negara yang bersengketa dengan persetujuan bersama membawa perkara
mereka ke mahkamah. Tanpa adanya persetujuan antar pihak-pihak yang
bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan berlaku terhadap sengketa tersebut.
5) Kompromi
Dalam
kerangka wewenang fakultatif, sengketa diajukan ke mahkamah melalui suatu
kompromi. Jadi, kesepakatan negara-negara yang bersengketa dituangkan dalam
suatu kompromi. Di samping itu, perlu dicatat bahwa kompromi di sini tidak lagi
mempunyai arti yang sama dengan kompromi arbitrasi. Kompromi untuk mengajukan
sengketa ke mahkamah tidak perlu lagi berisi kesepakatan mengenai komposisi
tribunal, wewenang dan prosedur mahkamah. Dalam penyelesaian hukum secara
fakultatif ini, kompromi hanya berisikan persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa untukmengajukan perkara mereka ke mahkamah, dan penentuan hal yang
dipersengketakan serta pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke mahkamah.
6) Wewenang
Wajib (Compulsory Jurisdication)
Wewenang
wajib dari mahkamah hanya dapat terjadi bila negara-negara sebelumnya dalam
suatu persetujuan, menerima wewenang tersebut.
a) Wewenang
wajib berdasarkan ketentuan konvensional
Seperti
juga halnya dengan arbitrasi, dalam prakteknya wewenang wajib ini dapat
diterima dalam bentuk perjanjian-perjanjian umum. Klausal khusus ini terdapat
dalam suatu perjanjian sebagai tambahan dari perjanjian itu sendiri. Klausul
ini bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin lahir di masa yang
akan datang mengenai pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersebut di muka
mahkamah.
Klausul-klausul
khusus ini dijumpai dalam perjanjian perdamaian tahun 1919,
perjanjian-perjanjian wilayah mandat dan perjanjian-perjanjian mengenai
monoritas. Sesudah Perang Dunia II, klausul-klausul yang demikian juga terdapat
dalam piagam-piagam konstitutif organisasi-organisasi international.
Klausul-klausul tersebut juga terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang
baru. Misalnya konvensi-konvensi mengenai hubungan diplomatik tahun 1961 dan
mengenai hukum perjanjian tahun 1969.
Disamping
itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral maupun multilateral yaitu
perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara khusus bertujuan untuk
menyelesaikan secara damai sengketra-sengketa hukum mereka di masa datang dan
di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan untuk menerima wewenang wajib
mahkamah hanya terbatas pada sengketa-sengketa hukum.
b) Klausul
opsional
Pasal
36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak statuta, dapat setiap
saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan
khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima kewajiban yang sama,
dalam sengketa hukum mengenai :
·
Penafsiran suatu perjanjian
·
Setiap persoalan hukum internasional
·
Adanya suatu fakta yang bila terbukti
akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban international.
·
Jenis atau besarnya ganti rugi yang
harus dilaksanakan karena pelanggaran dari suatu kewajiban international.
7) Persyaratan
Ada
banyak negara yang menerima klausul operasional tersebut dengan persyaratan. Pada
tahun 1946, Amerika Serikat menerima klausul opsional dengan persyaratan
penting, yaitu menolak diajukan sengketa yang berada di bawah domestic
jurisdiction atau wewenang nasional. Mengenai sengketa apa saja yang berada di
bawah wewenang nasional itu ditentukan sendiri oleh Amerika Serikat sesuai
dengan Amandemen Conally.
Banyak
negara mengeritik Amendemen Conally tersebut yang menyebabkan negara tidak mau
membawa perkaranya ke mahkamah sehingga mengurangi peranan peradilan dunia
tersebut. Persyaratan otomatis ini juga bertentangan dengan Pasal 36 ayat 6
statuta, yang mengatakan. “kalau terjadi perbedaan pendapat apakah suatu
persoalan berada di bawah wewenang mahkamah atau tidak, mahkamah sendirilah
yang akan memutuskannya. Amerika Serikat memperkecil lagi ruang lingkup
penerimaannya atau klausul tersebut dengan menolak yuridiksi mahkamah mengenai
sengketa-sengketa yang berasal dari perjanjian-perjanjian multilateral.
Pada
tanggal 18 Februari 1947, Perancis juga menerima klausul opsional, tetapi
dengan memasukkan persyaratan dari wewenang nasional, sama seperti apa yang
dinyatakan Amerika Serikat yaitu persyaratan otomatis. Akan tetapi, tahun 1966
Perancis mengubah persyaratan otomatis itu dan selanjutnya mengajukan
persyaratan terhadap sengketa-sengketa sebagai berikut :
·
Terhadap sengketa-sengketa bahwa
pihak-pihak yang terlibat setuju untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
cara damai.
·
Terhadap sengketa-sengketa yang menurut
hukum internasional, khusus berada di bawah wewenang nasional.
·
Terhadap sengketa-sengketa yang lahir
dari suatu peperangan atau konflik internasional yang mempunyai pengaruh
langsung terhadap keamanan nasional.
·
Terhadap sengketa-sengketa dengan suatu
negara, yang diwaktu lahirnya sengketa tersebut belum lagi menerima wewenang
wajib mahkamah.
Akhirnya,
Perancis menarik diri dari klausul opsional tersebut pada tanggal 10 Januari
1947, sebagai akibat diajukannya oleh Selandia Baru dan Austraia masalah uji
coba nuklir Perancis di Samudra Pasifik ke Mahkamah. Jadi, sebagaimana dilihat persyaratan-persyaratan
tersebut sangat membatasi wewenang mahkamah.
2. Pendapat-Pendapat
yang Tidak Mengikat (Advisory Opinion)
Mahkamah mempunyai fungsi konsultatif, yaitu
memberikan pendapat-pendapat yang tidak mengikat atau disebut advisori opinion.
Hal ini ditulis dalam Pasal 96 ayat 1 Piagam, sedangkan statuta dan aturan
prosedur mahkamah yang menetapkan syarat-syarat pelaksanaan tersebut terdapat
dalam Bab IV Statusta.
·
Natur Yuridik Pendapat Hukum (Advisori
Opinion)
·
Permintaan Pendapat Mahkamah
Pasal 96 Piagam dan 65 Statusta menyatakan bahwa
mahkamah dapat memberikan pendapat mengenai semua persoalan hukum. Berbeda
dengan mahkamah yang dulu, mahkamah sekarang dapat diminta pendapatnya untuk
semua persoalan hukum, baik yang kongkrit maupun yang abstrak.
1) Badan
yang dapat meminta pendapat mahkamah
Kebalikan
dari prosedur wajib, prosedur konsultatif hanya terbuka bagi
organisasi-organisasi internasional dan bukan bagi negara-negara.menurut pasal
96 ayat 1 Piagam, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta advisory
opinion mengenai masalah hukum ke mahkamah. Selanjutnya menurut ayat 2 pasal
tersebut, hak untuk meminta pendapat mahkamah ini juga dapat diberikan kepada
organisasi-organisasi lain PBB dan badan-badan khusus, dengan syarat bahwa semuanya
harus mendapat otorisasi terlebih dahulu dari Majelis Umum.
2) Pemberian
pendapat oleh Mahkamah
Pasal
96 Piagam dan pasal 65 Statuta kurang jelas mengenai pemberian pendapat oleh
mahkamah. Secara teoritis mahkamah tidak diwajibkan untuk menjawab. Namun dalam
prakteknya mahkamah tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan
mahkamah menganggap bahwa sebagai organ hukum PBB, kewajibannya untuk
memberikan pendapat-pendapat kalau diminta, untuk membantu lancarnya tugas PBB.
Sebaliknya,
mahkamah dapat menolak permintaan pendapat kalau dianggap terdapat
ketidaknormalan dalam permintaan tersebutr. Mahkamah memeriksa apabila
pertanyaan yang diajukan suatu organisasi international betul-betul berada
dibawah wewenang khusus. Juga dilihat dari prakteknya mahkamah menolak
memberikan pendapat terhadap soal-soal politik atau soal-soal yang berada di
bawah wewenang nasional suatu negara.
Mengenai
kegiatan mahkamah, dari tahun 1922-1940, mahkamah tetap internasional telah
mengeluarkan 31 keputusan, 27 advisory opinion dan 5 ordonasi. Dapat
disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan mahkamah tetap ini tidaklah mengecewakan.
Sedangkan tentang mahkamah internasional yang sekarang dari tahun 1946-1993
telah memutuskan 44 perkara, dan telah memberikan 21 pendapat (advisory opinion).
PENANGANAN PERKARA
Hanya
negaralah yang bisa berperkara di Mahkamah. Semua anggota PBB secara ipso facto
adalah anggota Mahkamah Internasional yang karena satu dan lain hal dapat
menyatakan diri tunduk kepada kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sengketa
diantara mereka.
Mahkamah
hanya punya kewenangan untuk mengadili perkara jika negara menyatakan
pengakuannya atas kewenangan mahkamah melalui:
a. Perjanjian
khusus di antara para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkaranya
melalui Mahkamah.
b. Pernyataan
yang secara nyata tertera dalam sebuah perjanjian. Misalnya, ketika suatu
negara menyatakan diri terikat ke dalam sebuah konvensi yang di dalamnya secara
tegas menunjukkan bahwa setiap sengketa yang muncul karena ketentuan-ketentuan
dalam konvensi itu akan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Ada banyak
konvensi internasional yang ada saat ini mencantumkan pasal semacam itu.
c. Adanya
dampak dari asas timbal balik (reciprocal effect) dari pernyataan negara untuk
tunduk kepada kewenangan mahkamah jika muncul sengketa atas peristiwa hukum
tertentu yang sama dengan pernyataan sejenis dari negara lain yang kebetulan
bersengketa dengan negaar tersebut atas peristiwa hukum tersebut. Jika terjadi
keragu-raguan apakah Mahkamah memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu
perkara yang diajukan kepadanya, maka Mahkamah punya kebebasan untuk menentukan
apakah akan menangani perkara itu atau tidak.
KEPUTUSAN
MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA INTERNASIONAL
Keputusan
Mahkamah diambil dengan suara terbanyak atau mayoritas dari hakim-hakim yang
hadir. Bila dalam proses pengambilan keputusan seimbang, maka seara ketua atau
wakilnya yang akan menentukan. Misalnya, keputusan Mahkamah tanggal 7 September
1927 dalam masalah Lotus antara Prancis dan Turki mengenai tabrakan kapal di
laut lepas dan keputusan Mahkamah tanggal 18 Juli 1966 mengenai peristiwa
Afrika Barat Daya tersebut. Keputusan hanya dapat diambil dengan pemberian
suara Ketua Mahkamah.
Keputusan
Mahkamah terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a. Berisikan
komposisi Mahkamah, informasi mengenai pihak-pihak yang bersengketa serta
wakil-wakilnya, analisa mengenai fakta-fakta, dan argumentasi, bukan
pihak-pihak yang bersengketa.
b. Berisikan
penjelasan mengenai motivasi Mahkamah. Pemberian motivasi keputusan Mahkamah
merupakan karena suatu penyelesaian yuridiksi. Hal ini sering merupakan salah
satu unsur dari penyelesaian yang lebih luas dari sengketa. Oleh karena itu,
perlu dijaga sensibilitas pihak-pihak yang bersengketa.
c. Berita
dispositif, ini berisikan keputusan Mahkama yang mengikat negara-negara yang
bersengketa.
Pasal
57 statuta menjelaskan tentang pendapat terpisah ialah bila suatu keputusan
tidak mewaili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, maka
hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya secara terpisah. Pendapat
terpisah disebut dissenting opinion, maksudnya adalah pendapat seorang hakim
yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan keberatannya terhadap
motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut. Dengan kata lain, pendapat
terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil
oleh kebanyakan hakim.
Pasal
13 Pakta Liga Bangsa-Bangsa telah memulai usaha ke arah pelaksanaan suatu
keputusan dengan menyatakan, bila suatu keputusan peradilan tidak dilaksanakan,
maka dewan dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin pelaksanaan
keputusan tersebut. Piagam PBB dalam Pasal 94 menjelaskan :
a. Tiap-tiap
negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan Mahkamah Internasional dalam sengketa
apabila dia merupakan pihak.
b. Bila
negara pihak suatu sengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak lainnya dapat mengajukan
persoalannya kepada Dewan Kemanan dan dewan, kalau perlu dapat membuat
rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil
supaya keputusan tersebut dilaksanakan.
Sebagai
warga negara yang baik, tentu kita harus mendukung setiap keputusan Mahkamah
Internasional. Bila keputusan mahkamah tersebut, telah melalui suatu proses dan
memenuhi persyaratan-persyaratan hukum, serta telah diterima oleh pihak-pihak
yang bersengketa karena memiliki nilai-nilai kebenaran dan keadilan demi suatu
perdamaian.
BEBERAPA CONTOH PENYELESAIAN
SENGKETA INTERNAIONAL :
1. Masalah perbatasan teritorial di Pulau Sipadan dan
Ligitan (Kalimantan) antara Indonesia dan Malaysia yang tidak kunjung ada titik
temu, disepakati untuk dibawa ke Mahkamah Internasional. Setelah melalui
perdebatan dan perjuangan panjang, pada awal tahun 2003 Mahkamah internasional
memutuskan untuk memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah pulau tersebut.
2. Runtuhnya Federasi Yugoslavia (1992) melahirkan perang
saudara di antara bekas negara anggotanya (Kroasia, Slovenia, Serbia, dan
Bosnia Herzegovina). Namun pemerintahan Yugoslavia yang dulu dikuasai oleh
Serbia, tidak membiarkan begitu saja sehingga terjadi pembersihan etnik (ethnic
cleansing) terutama kepada etnik Kroasia dan Bosnia. Campur tangan PBB
menghasilkan keputusan Mahkamah Internasional yang didukung oleh pasukan NATO,
memaksa Serbia menghentikan langkah-langkah pembersihan etnik yang kemudian mengadili
para penjahat perang. Mahkamah Internasional sangat aktif mengadili perkara
kejahatan perang. Hingga sekarang proses tersebut masih terus berlangsung. Sementara
itu, para penjahat pereng dan kemanusiaan yang terlibat dibawa ke Mahkamah
Internasional untuk diadili, sementara yang lainnya masih terus diburu.
Penjahat tersebut yaitu Ljubomir Borovcanin, Goran Borovnica, Vlastimir
Dordevic, Ante Gotovina, Goran Hadzic, Gojko Jankovonic, Rodovan Laradzic,
Milan Lukic, Sredojc Lukic, Streten Lubic, Ratko Mladic, Drago nNicolic, Vinco Pandurevic, Nebodjsa
Palvkovic, Vujadin Popovic, Dragon Zelenovic, Stojan Zupijanin.
3. Pada periode antara tahun 1933 sampai 1939, Adolf
Hitler melakukan pembasmian baik terhadap lawan politik maupun orang-orang
Yahudi serta menginvasi Austria, Polandia, dan Cekoslowakia dengan cara biadab.
Dalam peristiwa ini, Sekutu membentuk Pengadilan Nuremberg tahun 1945-1946
untuk mengadili penjahat-penjahat perang.
4. Tahun 1994, pengadilan terhadap penjahat perang
dilangsungkan di Den Hag Belanda, untuk mengadili pasukan Serbia yang melakukan
pembasmian etnik terhadap kaum sipil Bosnia. Dalam pengadilan ini, PBB
membentuk The International Criminal for
the Former Yugoslavia (ICTY).
5. Tahun 1998, Dewan Keamanan PBB membentuk Interna Criminal Tribunal of for Rwanda
yang bertempat di Arusha, Tanzania untuk mengadili pelaku genocide terhadap 800.000 orang suku Tsusi Rwanda, seperti Jean
Paul Akayesu, Clement Kayishema, dan Obed Ruzindana.
terimakasih banyak yaaa
BalasHapusThank you.. sambil belajar bisa sekalian cuci mata, haha, bias ku Tao!!!
BalasHapusgk jelas
BalasHapusTerimakasih Exotics ;) posting kamu sangat membantu :)
BalasHapusIni mah Exo l seniorππWaahhh.. Langsung salfok ke gambarπ EXO ot12��������. We Are Oneππππππππππππ. Thanks chingu
BalasHapus